Minggu, 30 Januari 2011

Akhlak-akhlak Masih Maud as


                                                   
Peristiwa pemotretan Hazrat Ahmad as dan kemejanya yang diminta oleh pengikutnya
            Ketika Jemaat Ahmadiyah sudah mulai maju dimana mereka sudah mulai mengadakan pendanaan bagi Mubalighnya dan mendirikan sebuah percetakan yang memanfaatkan teknologi baru sebagai sarana mengislamkan dunia, maka Hazrat Ahmad memutuskan untuk difoto agar orang-orang yang tidak akan pernah berjumpa dengannya dapat melihat rupanya. Para fundamentalis Islam telah menyatakan bahwa fotografi termasuk kemusyrikan karena hal itu sama dengan membuat patung. Ahmad membantah keberatan seperti itu, bahwa akan menjadi musyrik kalau niatnya untuk menyembah patung itu.
            Sang fotografer memiliki gaya Victoria yang kukuh tentang bagaimana sebuah foto harus tampak indah. Ia lalu meminta kepada Ahmad untuk membuka matanya lebar, supaya melihat tajam pada kamera, tetapi Ahmad teringat akan ajaran Alquran yang melarang “pandangan mata yang disengaja”, dan fotografer pun menyerah, sehingga pada akhirnya  beliau as hanya membuka kelopak matanya setengah. Ahmad bersiteguh agar tidak ada suatu pun tentang dirinya dijadikan objek pemujaan. Seperti juga halnya pada contoh lain, ketika seorang pengikutnya mendapatkan salah satu kemejanya, Ahmad tidak memintanya kembali, tetapi ia menekankan agar apabila pengikutnya meninggal, kemeja itu hendaklah ikut dikuburkan bersamanya dan dengan demikian menjadi musnah.
           
Kesederhanaan dan kehidupannya yang praktis
Pada tahun 1900, ketika jumlah pengikut Hazrat Ahmad sudah mencapai ribuan dan pada waktu itu banyak yang berkunjung ke Qadian, hingga mencapai seratus orang tiap harinya untuk melihat beliau as, dan ada juga yang menyempatkan dirinya untuk menginap di sana, maka Hazrat Ahmad mendirikan bangunan-bangunan untuk para tamu tersebut. Pada suatu kali Ahmad kebetulan bertemu dengan seorang tukang kayu yang sedang melicinkan papan kayu untuk sebuah bangunan baru. “Itu tidak perlu”, ia berkata kepadanya, yang penting adalah bangunan itu berdiri agar orang-orang dapat tidur disitu. Hal ini mengambarkan kesederhanaan beliau.
Pada suatu kali  ia diberi sepasang sepatu gaya Barat, yang bentuknya lain baik yang kiri maupun  yang kanan. Ahmad memberi tanda pada sepatu tersebut, sehingga ia dapat mengetahuinya dengan sekilas yang mana yang kiri dan yang kanan. Tetapi kerap kali ia salah pakai. Baginya hal ini membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tak ada konsekuensinya, kemudian ia pun kembali memakai sandal  yang telah dikenakannya sepanjang hidupnya
Ahmad memakai sebuah topi di bawah serbannya yang putih. Pada suatu ketika, setelah mengambil wudhu sebelum shalat, ia meminta anak perempuan sahabatnya ketika ia berada di rumahnya, untuk mengambilkan topinya dari ruangan tempat ia telah berwudhu. Anak perempuan itu masuk ke dalamnya dan melihat-lihat ke sekelilingnya, tetapi tidak melihatnya kecuali sebuah topi  tua yang lusuh itu dan ia merasa yakin itu tidak mungkin kepunyaannya. Ia kembali dan mengatakan bahwa topinya tidak ada disana. Ahmad berkata bahwa ia yakin telah meninggalkannya di sana. Tiga kali anak perempuan itu masuk dan mencari-cari dan setiap kali melihat, ia tidak menghiraukan topi tua yang lusuh itu. Akhirnya anak lelaki Ahmad masuk dan langsung kembali lagi dengan membawa topi tua itu. Ia tidak pernah membayangkan, kata anak perempuan itu kepada teman-temannya kemudian, bahwa Ahmad akan mempunyai sebuah topi yang lusuh itu dan hidup dengan begitu sederhana sehingga barang-barang itu tidak penting baginya.
Seorang pengikut bercerita bahwa ia pernah tinggal bersama dengan Ahmad sepanjang malam di atas masjid yang rata. Setelah beberapa saat, Ahmad menutupi  tubuhnya dengan selembar kain dan berbaring di atas atap yang berubin itu. “Orang-orang mengira mereka tidak dapat tidur tanpa  tempat tidur. Dengan kebaikan Tuhan saya dapat tidur enak meskipun di atas lantai “. Katanya. “Kehidupan suci dan kecintaan akan kemewahan tidak dapat hidup bersama”.
Disebuah kota, ketika ia menghadiri sebuah pertemuan, ia terus bekerja dengan catatan-catatanynya hingga larut malam. Kemudian ia menyadari bahwa ia merasa lapar. Ia belum makan apa-apa sejak sarapan pagi. Para pengikutnya merasa khawatir. Mereka telah lupa memberi makan kepadany.  Semua orang telah makan berjam-jam yang lalu, tak ada makanan lagi di rumah itu dan pasar-pasar pun sudah tutup semua. Ahmad mengangakat  bahunya, tersenyum dan berkata itu tidak penting, ia yakin masih ada beberapa  roti yang tertinggal dalam keranjang sisa orang-orang makan. Ia pergi ke ruang makan, mencari-cari dan muncul kembali dengan berhasil, sambil  memegang tiga atau empat potongan-potongan roti. Ini sudah cukup, katanya, dan ia pergi kembali ke atas  untuk melanujutkan pekerjaan.
Pada suatu makan malam, ketika para sahabatnya dan tamu-tamunya sedang berbicara tentang suka tidaknya mereka akan asinan, tiba-tiba saja ia bangkit dan meninggalkan kamar itu. Ia kembali lagi dengan sebotol asinan yang telah dikatakan salah seorang sebagai kesukaannya yang khusus. Mengapa ia tidak menyuruh pelayan untuk mengambilnya, tanya seorang tamu. Ia diberi tahu bahwa Ahmad tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari lainnya. Ia tidak pernah berbuat seperti seorang tuan yang hanya suka memerintah.
Keramahtamahan dan kerendahan hatinya
            Apabila ada tamu datang ia selalu menanyakan makanan apa yang disukainya, apa yang tidak disukainya dan bagaimana kesukaannya tentang masalah tidur. Pada suatu kali, beberapa tamu tiba dan para penjaga, karena sibuknya, mengatakan kepada mereka dengan acuh tak acuh agar membawa  sendiri barang-barangnya dari kereta. Para tamu itu merasa tersinggung, kemudian menaiki kembali kendaraannya dan berangkat lagi. Ahmad ketika mendengar apa yang terjadi, buru-buru mengejar mereka tanpa kendaraan. Ia dapat mengejar mereka kurang lebih  sudah lima mil jauhnya. Ia memohon maaf atas penerimaan yang kurang tertib terhadap mereka, kemudian menyertai mereka kembali ke Qadian dan ia pun menolong membawakan barang-barangnya olehnya sendiri. Ahmad tidak menegur para pelayan itu secara langsung. Itu bukan caranya, tetapi beberapa hari kemudian di dalam masjid ia mengatakan agar mereka semua lebih memikirkan cara menyambut orang-orang yang datang ke Qadian. Apabila seseorang telah bepergian bermil-mil dan mengalami banyak kesulitan dalam perjalanannya, bisa sampai saja sudah  merupakan kelegaan. Kalau mereka tidak disambut dengan segera, maka itu akan merupakan kekecawaan besar. Karena itu setiap orang hendaklah  berusaha agar tak seorang pun tamu-tamu dikecewakan.
Pada saat lain, ketika pelayan Ahmad sedang pergi, seorang pengikut bertanya kalau-kalau ia dapat ikut menginap agar ia dapat mengurus kebutuhan Ahmad, ia duduk siap menerima suatu permintaan daripada melayani. Malahan sebenarnya ia yang sedang dilayani. Ahmad sendirilah yang membawa air untuk wudhu sebelum shalat, Ahmad pula yang mengambil dua gelas susu sebelum pergi istirahat. Ketika ia mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menyediakan semua itu untuk membantunya dan membiarkannya bebas melakukan pekerjaan yang lebih penting, Ahmad menjawab bahwa itu tidak apa-apa, ia tahu di mana semuanya berada.
            Ahmad juga sering makan dengan tamu-tamu itu untuk melihat bahwa masakan dan pelayanan telah dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ia sendiri malahan sebenarnya hanya makan sedikit, tetapi bahkan ia menyibukkan diri membawa makanan dan roti yang baru dibakar untuk tamu-tamu. Kemudian ia akan memakan rotinya sedikit demi sedikit, mengambil potongan-potongan kecil yang baru, karena kalau tamu menampak bahwa ia telah selesai makan, maka tamu itu merasa kurang enak untuk terus makan